Penulis: Siti Sumarmi
Laboratorium Entomologi Fakultas Biologi UGM
Gambar. Kerusakan krop kobis yang disebabkan oleh ulat kobis (dokumentasi field trip Kopeng 2017)
Resistensi adalah suatu kenyataan, penggunaan insektisida kimia yang telah diketahui menimbulkan dampak negatip terhadap lingkungan, kesehatan manusia dan resisten terhadap serangga telah mempengaruhi para ahli untuk mencari alternatip dalam upaya pengendalian serangga hama yang lebih spesifik dan aman. Seperti penggunaan penyakit serangga, karena seperti pada manusia dan hewan lain, serangga dapat terinfeksi organisme seperti bakteri, virus dan fungi. Dalam kondisi tertentu misalnya kelembaban yang tinggi atau jumlah populasi meningkat maka serangga dapat terserang penyakit, sehingga sehingga organisme penyakit serangga sangat penting digunakan untuk pengendalian serangga hama secara alami.
Sebagian besar penyakit serengga bersifat relatif spesifik terhadap kelompok serangga dan suatu fase tertentu serangga, sehingga penggunaan penyakit serangga untuk pengendalian serangga hama ini aman bagi serangga yang bukan sasaran dan manusia.
Bacillus thuringensis (Bt) adalah salah satu jenis penyakit serangga yang telah diproduksi secara besar dan diperdagangkan sebagai insektisida mikrobia dengan formulasi yang dapat digunakan dengan penyemprot standar sehingga mudah diaplikasikan di lapang. Salah satu jenis Bt yang dimanfaatkan di bidang pertanian adalah B.t. kurstaki (Btk) yang patogen terhadap serangga anggota ordo Lepidoptera.
Serangga hama merupakan faktor pembatas yang sangat signifikan dalam kesuksesan produksi sayuran. Kerusakan yang diakibatkan oleh serangga hama tersebut dapat mencapai 15 % dari potential produksi selama per tahun. Penggunaan insektisida kimiawi dengan efek residual lama untuk pengendalian hama tanaman dan nyamuk vektor penyakit telah terbukti menimbulkan banyak masalah di lingkungan, pangan, dan kesehatan (Georghiou, 1990).
Plutella xylostella L. merupakan salah satu hama penting tanaman kubis yang tersebar luas di beberapa negara produsen kubis. Kerusakan akibat serangan hama tersebut dapat mencapai 100 % atau tanaman kubis gagal membentuk krop (Kalshoven, 1981; Harjaka dan Suryanti, 2002) Serangga ini bersifat kosmopolitan dan diduga berasal dari daerah Mediterranean. Hama ini dapat ditemukan mulai dari Amerika, Eropa, India, Asia Selatan, New Zealand, dan di beberapa tempat di Australia (Mau and Kessing, 1992). Di Indonesia daerah penyebarannya terbatas di daerah pegunungan. Sejak tahun 1916 telah diketahui bahwa P. xylostella merupakan hama utama tanaman kubis dataran tinggi di pulau Jawa, Bali, Sumatera, Sulawesi, dan banyak daerah lain di Indonesia (Setiawati, 1996). Bacillus thuringiensis Berliner adalah bakteri tanah yang bersifat gram positip yang telah sukses digunakan sebagai agensia biologi untuk pengendalian serangga hama lebih dari 50 tahun . Kristal protein yang diproduksi oleh B. thuringiensis bersifat sangat spesifik yaitu hanya membunuh hewan target dan aman untuk hewan non target, manusia, mudah di degradasi sehingga aman di lingkungan (Schnepf et al., 1998). Toksin Bt sangat spesifik dan aktip terhadap larva serangga yang termasuk anggota ordo Lepidoptera, Diptera, dan Coleoptera (Feitelson et al., 1992). Strain Bt baru telah diteliti efektip terhadap kecoa (Blatta orientalis) (Porcar et al., 2006). Kristal protein umumnya terdapat pada plasmid, dan di kode oleh cry gen. sampai tahun 2005 telah diidentifikasi lebih dari 200 gen cry dan di klasifikasikan ke dalam 44 famili dari subklas yang berbeda (Crickmore et al., 2005). Cry protein merupakan racun perut, mekanisme aktivitas kristal protein masuk ke dalam usus tengah dengan adanya protease usus, dengan reseptor di membrane usus maka terjadi kebocoran usus dan sel usus lisis, yang selanjutnya serangga mati.
Sel vegetatip Bt mengandung vegetatip insektisida protein (VIP) yang bersifat racun terhadap seranggga. VIP dikeluarkan selama pertumbuhan sel vegetatip Bt. VIP telah diidentifikasi dan diklasifikasikan menjadi 3 tiga famili yaitu Vip1, Vip2, dan Vip3 (Crickmore et.al., 2005). Protein V1 dan V2 adalah komponen protein toksin biner yang bersifat racun terhadap serangga anggota ordo Coleoptera. Protein V3 mempunyai rentang host yang berbeda.
Resistensinya terhadap racun kristal protein Cry1C (Tabashnik and Liu, 1994). Di beberapa negara juga telah diketahui bahwa ulat kobis P. xylostella telah membentuk daya resistensi terhadap Btk. Negara-negara tersebut antara lain Filipina, Hawaii, Jepang, dan Florida. Ulat kobis telah resisten terhadap toksin yang dihasilkan Bt, sehingga konsentrasi yang digunakan untuk pengendalian ulat tersebut mencapai 150 hingga 300 kali konsentrasi efektif (Tang and Shelton, 1993).
Pengujian kerentanan larva kedua serangga tersebut secara hayati dengan menggunakan Btk yang mengandung kristal protein endotoksin yang bersifat racun cry yang terbentuk pada saat Bacillus mengalami sporulasi mempunyai daya bunuh berspektum sempit yang hanya membunuh serangga sasaran, akan mampu menaikan produksi, mengurangi biaya, dan bersifat selektip dan sepesifik terhadap hewan sasaran, aman bagi manusia dan lingkungan. (Schnepf et.al., 1998; Bradford, 1976; Nester et al., 2002).
Kerentanan larva P. xylostella dari Kopeng dan Klaten dapat di ketahui dari hasil analisa data yang dapat dilihat pada Tabel 2. Pada Tabel 2 menunjukan bahwa semakin tinggi konsentrasi semakin tinggi jumlah kematian larva. Hal ini terlihat dari hasil perhitungan LC50 dan LC 90 pada pengamatan 24 dan 48 jam perlakuan Btk terhadap larva P. xylostella dengan konsentrasi 0,62 g/L dan 2,41 g/L. Kerentanan larva P. xylostella yang dikoleksi dari Kopeng masih terlihat rentan terhadap Btk. kemasan pada pengamatan 24, dan 48 jam. Dari Tabel 2 juga dapat dilihat bahwa kematian larva P. xylostella instar dari kopeng lebih tinggi yaitu 22 % yang apabila di bandingkan dengan larva dari Klaten yaitu 19 % dengan perlakuan sesuai dengan konsentrasi anjuran yaitu 2 g/l. Demikian juga pada dosis 1,5 g/l larva dari Kopeng menunjukan kematian yang lebih tinggi 25 % dan 9 % untuk larva dari Klaten.
Hal ini ini mungkin karena daerah pertanian di Kopeng sudah sangat efektip menggunakan pestisida sehingga larva menjadi lebih tidak sehat dan ketika di kendalikan dengan Btk yang merupakan bakteri penyebab sakit pada serangga menjadi lebih rentan terkena penyakit. Tetapi perlu dicatat bahwa konsentrasi anjuran adalah untuk uji patogenesitas di lapang. Sehingga hasil pengujian ini mengindikasikan adanya gejala resistensi pada larva P. xylostella baik dari Kopeng ataupun Klaten..
Hal ini ini mungkin karena daerah pertanian di Kopeng sudah sangat efektip menggunakan pestisida sehingga larva menjadi lebih tidak sehat dan ketika di kendalikan dengan Btk yang merupakan bakteri penyebab sakit pada serangga menjadi lebih rentan terkena penyakit. Tetapi perlu dicatat bahwa konsentrasi anjuran adalah untuk uji patogenesitas di lapang. Sehingga hasil pengujian ini mengindikasikan adanya gejala resistensi pada larva P. xylostella baik dari Kopeng ataupun Klaten..
Kematian larva P. xylostella setelah perlakuan 48 jam dengan Btk baik instar kedua atau ketiga menunjukkan bahwa larva dari kopeng lebih rentan di bandingkan larva dari Klaten. Dari Probit analisis menunjukan bahwa LC50 larva instar II dan III baik dari Kopeng atau Klaten menunjukkan kerentanan yang relatip sama di bawah konsentrasi anjuran.
Nilai LC50 masing masing larva instar II dan III dari Kopeng adalah 0.85 dan 0,62 g/l, sedangkan larva dari Klaten sebesar 1,85 dan 0,95 g/l. Apabila diperhatikan ternyata instar III lebih rentan dari pada instar II hal ini mungkin instar III lebih banyak memakan pakan yang mengandung Btk. Larva instar kedua dari Kopeng lebih rentan terhadap dosis 1,5 g/l , dibandingkan larva instar ketiga dari Kopeng, larva instar kedua dan ketiga dari Klaten. Namun demikian, larva dari Kopeng lebih rentan terhadap Btk jika dibandingkan dengan larva dari Klaten. Larva instar kedua dari Klaten tidak rentan terhadap Btk. Pada dosis 2g/l hanya mampu membunuh 63 %.
Artikel diedit oleh Sukirno pada 24 Juli 2017 dan diperbaharui 3 September 2017
Pustaka
Bradford, M. M. 1976. A rapid and sensitive method for the quantification of microgram quantities of protein using the principle of dye-binding. Anal. Biochem. 72:248-254
Crickmore, N., Zeigler, D.R., Schnepf, E., Van Rie, J.,Lereclus, D., Baum, J., Bravo, A. and Dean, D.H. 2005. Bacillus thuringiensis toxin nomenclature. [Online.]http://www.biols.susx.ac.uk/Home/Neil_Crickmore/Bt/index.html
Feitelson, J.S., Payne, J. and Kim, L. 1992. Bacillus thuringiensis: insects and beyond. Biotechnology 10:271 – 275.
Georghiou, G.P. 1990. Managing resistance to agrochemicals, from fundamental research to practical strategies. In: Green, M.B., Le baron, H.M. and Mobreg, W.K (eds) ACS Symposium series, 421. American Chemical Society
Harjaka, T. dan Suryanti. 2002. Kajian Beberapa Jamur Entomopatogenik pada Ulat Daun Kubis Hijau, Plutella xylostella. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. 8(2) : 94-99
Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pests of Crops in Indonesia.PT ICHTIAR BARU-VAN HOEVE, JAKARTA. p. 341-344
Mau, R.F.L. and J.L.M. Kessing. 1992. Plutella xylostella. <http ://www.extendo.hawai.edu>. Diakses pada tanggal 4 Desember 2005.
Nester, E. W., L. S. Thomashow, M. Metz, and M. Gordon. 2002. 100 years of Bacillus thuringiensisBacillus thuringiensis: a critical scientific assessment. AmericanAcademy of Microbiology, Washington, D.C.
Porcar, M., Navarro, L. and Jimenez-Peydro, R. (2006). Pathogenicity of intra-thoracically administered Bacillus thuringiensis spores in Blatta orientalis. Journal of Invertebrate Pathology 93 (1):63 – 66.
Setiawati, W. 1996. Status Resistensi Plutella xylostella (L) Strain Lembang, Pengalengan, dan Garut terhadap Insektisida Bacillus thuringiensis. Jurnal Hortikultura. 6(4) : 387-391. //www.vom.ac.mu>. Diakses pada tanggal 4 Desember 2005.
Schnepf, E., N. Crickmore, J. Van Rie, D. Lereclus, J. Baum, J. Feitelson, D. R. Zeigler, and D. H. Dean. 1998. Bacillus thuringiensis. and its pesticidal crystal proteins. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 62:775-806